Forum, Program

Buah Tangan #29: Filosofi Leluhur, Sejarah, Kultur Budaya dan Potensi Wisata Pecinan Semarang

Suasana Artist Talk "Rupa Muka Pecinan Semarang"

Artist Talk program Buah Tangan #29 – “RUPA MUKA PECINAN SEMARANG” bersama Yehezkiel Cyndo Lumempo

Kawasan Pecinan, Semarang dikatakan Alberta Cindy dari Seraya Podcast, merupakan salah satu area yang masih belum banyak berubah. Jika dibandingkan dengan kawasan Pecinan lain di Indonesia. Informasi tersebut ia sampaikan ketika menjadi penanggap dalam Artist Talk agenda Buah Tangan #29 bertajuk “Rupa Muka Pecinan Semarang” bersama Yehezkiel Cyndo di Grobak Art Kos, Jl. Stonen No.29, Bendan Ngisor, Kec. Gajahmungkur, Semarang pada 30 November 2023.

Berawal dari bedah karya ilustrasi visual berupa print out kartu pos Yehezkiel Cyndo Lumempo, yang mengambil objek fasad Pecinan, Semarang, dikatakan oleh perupa sebagai komplek harta karun yang masih jarang dieksplore para seniman. Padahal baginya, Pecinan Semarang merupakan kawasan eksotis yang kaya akan sejarah serta kultur dan budaya warga Tionghoa, maupun peranakan.

Melalui agenda Artist Talk Buah Tangan #29 yang diinisiasi oleh Kolektif Hysteria, Yehezkiel Cyndo Lumempo menceritakan pengalaman empirisnya sebagai warga peranakan Tionghoa yang terputus dari kultur dan budaya nenek moyangnya. Terlebih ketika kakek dan neneknya meninggal dunia, Yehezkiel Cyndo tidak lagi merasakan budaya Tionghoa.

Hal itu kemudian menjadi pijakan utamanya untuk mencari tahu sejarah yang tersimpan di komplek Pecinan, Semarang. Terlebih, ketika pertama kali melihat kawasan tersebut, Cyndo merasa ‘pulang’ dan masuk dalam lorong waktu semasa masih ada kakek-neneknya. Ikatan emosional tersebut, kemudian membawa Cyndo untuk memilih kawasan Pecinan Semarang sebagai objek sketsa, menggunakan media cat air dan kertas kartu pos.

Cyndo mengaku, pemilihan objek fasad bukanlah tanpa sebab. Selain keunikan dan keindahannya, arsitektur fasad di bangunan-bangunan Pecinan, Semarang juga menyimpan sejarah panjang. Terutama perjalanan warga Tionghoa dan peranakan di kawasan Semarang, Jawa Tengah. Dalam sebuah referensi yang ia baca, gaya arsitektur tersebut ternyata menyimpan filosofi leluhur yang dalam.

“Salah satu yang pernah saya baca ya itu, filosofi tentang lumbung. Kita adalah keturunan yang berangkat dari sebuah nilai yang luhur, keluhuran ini harus tetap dijaga. Digambarkan dalam beberapa ornamen arsitektural. Terus juga filosofi atap. Supaya nilai-nilai leluhur itu tetap ada, bahkan itu dimasukkan dalam struktur atap. Harapannya ya rumah ini kuat dari atas,” kata Cyndo.

Berdasarkan kesaksian Cindy yang juga merupakan warga peranakan dan asli Semarang, apa yang diutarakan oleh Cyndo benar adanya. Sang ayah yang merupakan warga asli Kampung Melayu (Darat Nipah, dekat Boom Lama), menceritakan tentang gambaran suasana daerah Pecinan masa lalu.

Dikatakannya, warga Tionghoa dulu memiliki rumah yang indentik bertingkat dan luas hanya maksimal 5 meter, namun memanjang hingga sekitar 40 meter ke belakang. Bahkan, pintu belakang rumah-rumah warga Tionghoa maupun peranakan di masa lampau, jaraknya sangat dekat dengan kali.

“Zaman dulu itu rumah nempel langsung seperti rumah panggung gitu di belakangnya. Jadi rumah itu panjang sekali, lebarnya mungkin hanya 3 sampai 5 meter. Panjangnya itu bisa sampai 40 meter. Jadi kalau buka pintu belakang itu langsung kali (sungai),” terang Cindy.

Akan tetapi, lambat laun muncul peraturan baru yang mengharuskan rumah mereka dipapras demi membangun jalan. Sebab daerah Pecinan sering kali banjir dan air laut naik atau terjadi rob. Perkembangan penduduk juga semakin padat, ditambah adanya represi dari pemerintahan saat itu terhadap warga Tionghoa dan keturunannya.

“kata Papah saya sih tahun 90-an sempet sengketa dan banyak demo. Bayangin, punya rumah 40 meter tiba-tiba ‘dikepras’ (dipotong) separohnya. Di buat jalan dan harus direlakan. Jadi kalau teman-teman lewat jalan itu, lewat belakang, jadi pastikan aneh gitu kayak rumah habis dipotong dua gitu. Jadi kalau teman-teman ke kali (sungai) Semarang sekarang, dari Wotgandul, kemudian ke gereja kemudian Gang Baru. Yang dangkal akan kelihatan masih ada beton-betonnya,” ujar Cindy.

Meskipun begitu, fasad dan gaya arsitektur rumah di Pecinan masih banyak yang tidak berubah. Bahkan, walaupun sudah banyak berpindah tangan–entah sudah dipakai oleh keturunan ke berapa, disewakan maupun dijual kepada orang lain, fasad-fasad di Pecinan Semarang dikatakan Cindy sebagai wilayah yang masih cukup terjaga keberadaannya, jika dibandingkan dengan area Pecinan lain di Indonesia.

Hal tersebut terbantu dari adanya aktivitas perniagaan yang masih subur. Bahkan, potensi kuliner juga nampak mulai mewarnai wilayah tersebut. Sehingga wilayah Pecinan, Semarang masih hidup. Dari sana ciri khas kultur dan budaya Tionghoa dikatakannya masih terlihat lekat dan belum terkikis jaman.

“Secara histori, ciri khas rumah Pecinan itu masih sama dan sangat khas. Bentuk berderet yang segaris. Sedangkan fasad pelana, memiliki sebutan ‘Tapak Kucing’, sebab sejak zaman dahulu seringkali dipakai kucing untuk berlalu-lalang,” ujar Cindy.

“Tapi ternyata itu punya fungsi. Yang pelana adalah untuk mencegah adanya kebakaran (yang merembet) antar rumah. Jadi kenapa pelananya tinggi-tinggi, lebih tinggi dari atapnya, karena buat pembatas. Misalnya sebelah kebakaran, sebelahnya nggak kena. Ternyata, zaman orang China dulu, peranakan sudah punya teknologi itu,” lanjutnya.*

You Might Also Like

Tinggalkan Balasan