Arsip, Festival

Grobak Art

  • 1/11
  • 2/11
  • 3/11
  • 4/11
  • 5/11
  • 6/11
  • 7/11
  • 8/11
  • 9/11
  • 10/11
  • 11/11

Gabungan Komunitas Seni Prihatin Ruang Publik

Kesenian dalam beberapa kasus dianggap sebagai ekspresi puitik yang luhur, murni, sejati dan sangat serius. Karena asumsi-asumsi di ataslah terkadang masyarakat awam menilai kesenian sebagai wilayah yang terpisah realitas sehari-hari yang serba cepat dan instan. Praduga tersebut menurut beberapa pihak terkesan menghukumi dan berat sebelah, dan kesenian akhirnya malah menempati menara gading yang oleh publik ditanggapi dengan malas-malasan. Untuk apa merenung di tengah masyarakat yang bingung, lebih baik segera melamar kerja atau menyelesaikan proyek supaya cepat kaya dan makmur! Bukankah begitu arus kesadaran masa kini?

Namun asumsi-asumsi di atas disikapi secara kreatif oleh beberapa kelompok kesenian yang mayoritas digawangi anak-anak muda. Bagi mereka kesenian itu terkadang tidak harus serius-serius amat. Berkesenian bisa sangat main-main, merayakan keremehan, dan tidak menempati ruang-ruang agung berkespresi: Berkesenian bisa dilakukan di manapun, bahkan jalanan. Bukankah performance art kebanyakan juga dilakukan diruang-ruang public? misalnya di pasar maupun jalan raya.

Pemikiran di atas telah memunculkan berbagai kegelisahan dan pertanyaan di kalangan anak muda pegiat seni di Semarang. Apalagi kekurangmaksimalan bahkan keterbatasan ruang-ruang publik di Semarang yang dieksplorasi untuk berkesenian menambah jumlah kegelisahan komunitas seni yang ada di kota lumpia ini. Hal itulah yang dijadikan alasan mereka untuk berbuat sesuatu. Yakni menggelar even kesenian di trotoar. Even yang bertajuk ‘Mengembalikan Seni ke Trotoarnya’ ini tidak dimaksudkan untuk menggembar-gemborkan yang muluk-muluk. Tidak berarti juga bahwa beberapa kegiatan kesenian yang belakangan diadakan di Semarang telah melenceng atau berjarak dari masyarakatnya.

Seni yang kembali ke Trotoar; Ekspresi seni di wilayah perkotaan

Mengembalikan seni yang diusung oleh komunitas Hysteria yang dibarengkan acara launching Grobak Art ini sasarannya memang anak muda yang hidup dalam kultur perkotaan. Makanya terminologi trotoar digunakan untuk memperkuat konsep acara ini. Sebagaimana diketahui, kata trotoar lebih dekat dengan wacana perkotaan, sedangkan para penampil sendiri terdiri dari gabungan beberapa komunitas dengan disiplin media seni yang berbeda. Tercatat ada lima genre yang terlibat pada acara yang diadakan pada tanggal Kamis, 30 Agustus 2007 yakni sastra, teater, seni rupa, musik dan costume art. Sedangkan komunitas beserta personal yang terlibat antara lain: Teater Emka, Teater Sawo Kecik, Teater Sangkur Timur, Anjing Geladak band hardcore, Orenjichuu Harajuku, Seni Visual Byar Creative industry, Balik Kanan, Cat Dog communitart, FB. Kukuh, Imam Bucah, Wage Wijono, dan Agung Hima.

Minimnya ekspresi kesenian yang diadakan di ruang public kota dan kesenjangan antar lintas disiplin bidang kesenian yang digeluti masing-masing komunitas akhirnya mencapai titik temunya. Dari situ lantas muncul pertanyaan-pertanyaan seputar apakah harajuku termasuk kesenian? Apakah berekspresi atau menggelar even kesenian harus selalu di galeri, gedung dewan kesenian atau tempat-tempat yang selama ini dianggap representative untuk menggelar karya? Bagaimana dengan problem keterbatasan dana, ruang dan media? Rupanya berbagai pertanyaan yang timbul tidak menjadi soal, karena pada hakikatnya ekspresi seni sebagaimanapun direpresi toh akan mencari celahnya juga. Represi rezim saja masih bisa disiasati apalagi represi keadaan dan mitos bahwa Semarang adalah kuburan seni.

Grobak Art, ruang alternatif dengan fokus jalanan

Acara diadakan di jl. Atmodirono yang menjadi tempat mangkalnya Grobak Art. Grobak Art sendiri merupakan angkringan produk komunitas Hysteria. Seperti angkringan biasa namun minimal sebulan sekali diadakan kegiatan kesenian atau diskusi di tempat ini. Ke depannya grobak Art diharapkan bisa mensupport acara-acara kesenian yang diselenggarakan di ruang-ruang publik. Itulah misi yang hendak dibawa Grobak Art. Tempat ini sekaligus menjadi sarana kritik bagi tempat-tempat nongkrong yang semata-mata berjualan tanpa diimbangi dengan pertukaran wacana. Sebagaimana semangat distro pada awalnya untuk menyokong band indie. Namun kasusnya lain, terutama di Semarang, tempat-tempat semacam itu hanya menjadi ajang jualan semata. Dan sejarah berikut semangat awalnya digadaikan begitu saja sehingga yang diimport hanya bentuk luar saja (superficial).

Sedangkan berlangsungnya kegiatan dapat diringkas sebagai berikut. Pembukaan diisi oleh performance art dari Asri Asrini. Dengan dandanan ala cewek jawa tradisional ia merespons tukang becak yang ada di jalanan. Setelah itu susul-menyusul performance art dari berbagi komunitas. Ada Imam Bucah yang membawakan puisinya diiringi Anjing Geladak hardcore, musikalisasi puisi oleh Sawo Kecik hingga lenggak-lenggok layaknya di catwalk yang dilakukan Orenjichuu dengan costume art-nya. Lebih meriah lagi karena acara ini didukung juga oleh pameran seni rupa gawat darurat dari perupa muda Unnes. Karya berukuran A4 itu dilapisi dengan plastik lalu didisplay seperti orang jualan poster di pinggir jalan. Sedangkan di seberang jalan lainnya pameran bulletin indie diletakkan secara sederhana. Yakni di dalam kotak yang dirancang sedemikian rupa untuk menampung berpuluh-puluh bulletin dari berbagai kota.

Tidak sampai di situ saja. Meskipun trotoar menjadi titik yang hendak diangkat namun produksi wacana akhirnya melibatkan galeri mapan pada tanggal 16 September. Yakni di Galeri Bu Atie. Kontradiktifkah? Pada kenyataannnya panitia menemukan pembelaan yang menarik. Karena yang didiskusikan hnaya menyangkut Grobak Art sebagai projek terbaru komunitas Hysteria dan bukan inti dari tajuk acara yang diusung. Dan lagi untuk memberi kesempatan ulang berpameran bagi komunitas seni rupa yang terlibat. Meskipun demikian, kembali ke trotoar tetap menjadi semangat awal untuk acara-acara yang melibatkan Grobak Art.

Walaupun secara estetik dan konseptual acara di jalanan ini kurang rapi namun peristiwa bertemunya komunitas-komunitas dengan medan seni berbeda ini diharapkan kelak dapat menghasilkan kolaborasi yang lebih menarik. Apalagi mengingat identitas kota kekinian di mana kita tidak dapat memungkiri hibridasi kultural yang ada mau tidak mau para penjaga tradisi harus menyempatkan diri menengok psikologi anak muda. Supaya tradisi yang digembar-gemborkan terancam punah dpat meregenerasi atau berselingkuh dengan faktor-faktor di luar aturannya yang rigid. Siapa tahu geguritan dan wayang kulit dapat dipadukan dengan seni harajuku, dan kesenian yang sudah ada semakin bertambah ragamnya.

You Might Also Like

Tinggalkan Balasan