Esai, Pengetahuan Perkotaan

Gerilya Seni di Kampung Urban

Sosok

*Gerilya Seni di Kampung Urban*

Oleh *ADITYA PUTRA PERDANA*
Kompas, 14 Maret 2017

Dari satu komunitas sastra di kampus, Ahmad Khairudin (31) merangkul anak muda di Semarang, Jawa Tengah. Mereka berkarya nyata dan bergerilya membuka mata warga urban agar peduli pada pelbagai persoalan di kampungnya. Seni menjadi pintu masuk.

“Saat kuliah, ketakutan terbesar saya bukan setelah lulus lalu mau kerja apa. Yang paling mencekam adalah lembaga ini mau diapakan?” kata Ahmad Khairudin atau lebih sering disapa Adin, Rabu (1/3). Lembaga yang dimaksud adalah komunitas yang ia dirikan 13 tahun silam, Hysteria.

Adin berkaca pada kenyataan bahwa sejumlah seniornya di kampus gagal mempertahankan idealisme mereka bersama komunitas. Pada 2004, dia dan beberapa kawannya mendirikan Hysteria, kelompok mahasiswa sastra di Kota Semarang, Jawa Tengah. Kegiatan mereka awalnya sebatas penerbitan buletin puisi, cerpen, dan esai.

Dalam perkembangannya, Hysteria mulai menggelar diskusi, pameran, hingga pertunjukan musik. Itu dilandasi keresahan Adin terhadap minimnya aktivitas berkesenian di ibu kota Provinsi Jawa Tengah itu. Dengan dana terbatas, acara rutin digelar di garasi markas mereka, di Jalan Stonen, Semarang.

Bergerak secara komunal, mereka menggelar acara di kampung-kampung tengah kota. Meskipun digelar dengan biaya seadanya, acara tetap meriah. Salah satu kuncinya adalah pelibatan warga.

*Minim ruang kreasi*

Hasrat Adin pada seni dilatarbelakangi masa kecilnya di desa yang serba terbatas, termasuk akses mendapatkan bacaan komik atau buku cerita. Kecintaannya pada seni hanya bisa terobati oleh seni wayang. Tiap ada pertunjukan, dia selalu meminta ayahnya membangunkannya untuk menonton wayang.

Keterbatasan akses terhadap kesenian itu pula yang dijumpai di sejumlah kampus di Semarang. Oleh karena itu, melalui Hysteria, dia menyediakan ruang untuk karya seni sastra. Sejak lama, medium untuk berkarya sastra sangat terbatas. Yang ada hanyalah pers mahasiswa. Karena itu, puisi, cerpen, dan esai pun mereka masukkan dalam buletin.

“Dua tahun pertama, buletin kami masih berupa fotokopi. Setiap edisi, jumlah halaman berbeda-beda. Kadang 1 lembar, 4 lembar, hingga 10 lembar,” ujar Adin. Saat itu, setiap bulan, buletin pasti terbit, setidaknya satu kali.

Terkenal sebagai komunitas sastra, pada 2006, Adin dan kawan-kawan memperluas ke bidang lain, seperti seni rupa dan teater. Mereka cari dana dari sponsor atau lembaga donor.

Adin mengatakan, Hysteria juga melakukan pemetaan, dokumentasi, serta poster. Pada 2007-2009, Hysteria bahkan memiliki poster berisi jadwal acara-acara poster “gigs” atau pertunjukan musik di Semarang. Mulai 2010 hingga kini, mereka memiliki semua jadwal kegiatan acara di Semarang, paling tidak, yang mereka ketahui.

Adin menyadari, dinamika seni kebudayaan di Semarang jauh di bawah kota-kota lain. “Dalam skema seni, Semarang itu kota kecil. Mau dibantah bagaimana pun, ya, memang seperti itu. Kota utamanya tetap Bandung, Jogyakarta, Jakarta,” ujarnya.

Menurut Adin, hal tersebut bisa diukur dari sejarah dan infrastruktur yang tersedia di kota-kota tersebut. Berapa banyak lembaga atau sanggar yang aktif dalam 1-2 tahun terakhir. Di Semarang, grafiknya naik-turun.

“Jika banyak orang yang bilang Semarang itu ‘kuburan seni’, ya, memang seperti itu. Banyak kelompok seni yang hanya bertahan 1-2 tahun atau musiman. Kami konsisten, tetapi dalam skala komunal,” kata Adin.

*Peduli isu kota*

Kondisi Semarang tidak membuat Adin pasrah. Dia terus membuka jejaring dan berkunjung ke sejumlah tempat, yang menjadi pusat kesenian. Tidak cuma di Indonesia, tetapi beberapa kota di dunia. Selain Bandung, Yogyakarta, dan Jakarta, Adin juga “mencari ilmu” ke negara-negara lain, seperti Jerman, Jepang, dan Selandia Baru. Untuk biaya, dia mengajukan kepada lembaga-lembaga yang peduli kepada para seniman dan kurator dari negara dunia ketiga.

Dalam perjalanannya, Adin, yang saat ini sedang mengambil kuliah S-2 Antropologi di Universitas Indonesia (UI), menyasar isu-isu kota. “Karena bagaimanapun, apa yang terjadi di kota akan kembali kepada kita. Sementara yang bisa kami lakukan hanya seni. Itu yang melandasi kami beberapa tahun terakhir membuat banyak program di sejumlah kampung di Semarang,” katanya.

Hingga kini, Adin dan kawan-kawan telah memiliki jaringan di 13 kampung asli di Semarang di antaranya ialah Bustaman, Malang, Petemesan, Randusari, Kemijen, dan Tapak. “Basisnya adalah menjadikan seni sebagai bagian dari aktivitas warga kampung di tengah kota yang selama ini terjebak pada sumpeknya pembangunan,” katanya.

Sejumlah kegiatan yang sudah melekat dengan Hysteria, di antaranya, ialah Tengok Bustaman yang digelar dua tahun sekali. Di Kampung Bustaman, ada juga Bok Cinta Project. Selain itu, ada pula Penta K Labs: Narasi Kemijen.

Selain mempercantik ruang kampung, mereka juga berupaya memberikan kesadaran warga untuk ikut menjaga lingkungannya bermukim. Mereka juga menggelar acara musik tahunan, seperti Kota Listrik, yakni festival musik elektronik.

Selain itu, ada juga Grobak Bioskop, yakni pemutaran dan diskusi film di kampung-kampung juga di kampus-kampus. Mereka juga menginisiasi dialog isu-isu kota melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Mulai dari isu sampah, tata kota, banjir, hingga budaya. Salah satu topik yang kini digencarkan adalah soal kampung-kampung asli Semarang yang terdesak pembangunan. Padahal, kampung-kampung asli menjadi akar peradaban kota pesisir ini.

“Lewat pendampingan, kami ingin semakin banyak komunitas berkembang di Semarang,” kata Adin. Kini, selain Adin sebagai direktur, tim inti Hysteria dibantu Purna Cipta sebagai manajer program dan Oktav Bagus sebagai manajer ruang. Mereka dibantu tujuh pengurus.

Setelah belasan tahun bergiat, Adin menilai, pemerintah kota masih kurang memberikan ruang kreasi bagi warganya. Padahal, ruang-ruang publik di Semarang semestinya bisa dihidupkan untuk aktivitas-aktivitas seni yang membuka pengetahuan warga tentang kotanya sendiri.

Untuk mengatasi kondisi itu, Adin dan Komunitas Hysteria bergerilya membuka ruang-ruang kreatif di kampung-kampung di tengah kota.

___________________________
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Maret 2017, di halaman 16 dengan judul “Gerilya Seni di Kampung Urban”.

cek link:

http://print.kompas.com/baca/sosok/2017/03/14/Gerilya-Seni-di-Kampung-Urban

You Might Also Like

Tinggalkan Balasan