Hysteria – Kota Semarang memiliki kultur pengarsipan atau pencatatan kebudayaan dan kesenian yang minim. Hal ini membuat banyak tradisi di Semarang tidak masuk ke dalam data Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Fakta tersebut terungkap dalam Pekakota Forum Edisi 65 yang diinisiasi oleh Kolektif Hysteria pada hari Senin (30/10/2023) malam, di Grobak Art Kos, Jl. Stonen No.29, Bendan Ngisor, Kec. Gajahmungkur, Kota Semarang.
Dalam Pekakota Forum Edisi 65, Kolektif Hysteria menghadirkan beberapa pembicara. Di antaranya Kepala Dinas Arsip dan Perpustakaan Kota Semarang, Endang Sarwiningsih S.SE, MM, Ak., Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang, Samsul Bahri Siregar, SH., MM. dan Adin Hysteria selaku Kurator Pekan Kebudayaan Nasional 2023. Serta dimoderatori oleh Yvonne Sibuea dari Ein Institure Researcher.
Tak lupa hadir pula Samuel Wattimena selaku Staff Khusus Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Men-PPPA), serta pernah menjadi Kurator Pekan Kebudayaan Nasional pada tahun 2019 dan 2021. Samuel Wattimena menyayangkan kurangnya kerja pengarsipan kebudayaan dan seni di Kota Semarang khususnya, dan Indonesia pada umumnya.
Samuel Wattimena mencontohkan kasus yang ia temui saat menjadi Kurator Sandang (Wastra) dalam kegiatan Pekan Kebudayaan Nasional di tahun 2019, silam. Fakta bahwa Kota Semarang tidak masuk sebagai salah satu daerah yang memiliki WBTB, disebabkan tak ada data yang menunjukkan ciri khas yang menonjol dari produksi perbatikkan Indonesia. Sehingga, ia menyebut bahwa pengarsipan karya bisa dijadikan data dukung kebudayaan masing-masing daerah.
“Kurangnya arsip karya membuat Semarang dan beberapa daerah di Indonesia kurang memiliki data dukung kebudayaannya,” ujar Samuel Wattimena dalam acara Pekakota Forum Edisi 65.
Senada dengan hal itu, Adin Hysteria mengatakan bahwa peran data dukung kebudayaan ini menjadi vital, karena sebagai Ibu Kota Jawa Tengah, diharapkan Semarang mampu memberikan pengaruh kultural. Pentingnya pengarsipan ini dapat menjadi perhatian tersendiri kepada para pegiat kebudayaan dan pemerintah daerah. Seni dan tradisi dapat diturunkan kepada generasi berikutnya melalui pengarsipan kebudayaan.
Seperti fokus-fokus kerja yang dilakukan oleh Kolektf Hysteria selama ini, Kota Semarang sejatinya memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) muda yang potensial. Kerja-kerja kreatif kebudayaan maupun kesenian bisa dilakukan melalui program dari provinsi untuk mengintervensi produk kawula muda di 22 kabupaten.
Misalnya eksplorasi Kolektif Hysteria di Kampung Bustaman dan Tambakrejo, Semarang beberapa tahun terakhir. Atau program Semarang Literary Week yang bekerja sama dengan Ubud Write. Program tersebut dihelat sebagai salah satu upaya untuk menumbuhkan tradisi bercerita di Kota Semarang. Lebih jauh, pada tahun 2016, Kolektif Hysteria mengadakan lomba cerpen dengan objek Kota Lama. Selain melihat minimnya pencerita, eksplorasi narasi tentang Kota Lama, Semarang dinilai masih kurang masif.
“Urgensi kebudayaan ini cukup penting untuk Semarang, karena jika ditelaah, Semarang merupakan ibu kota jadi diharapkan mampu bersikap seperti ibu yang penuh kasih. Harapannya, semua orang bisa belajar di Semarang dan Semarang memiliki pengaruh kultural di Jawa Tengah, dan punya banyak referensi bagi daerah lain ketika datang ke Semarang,” kata Adin Hysteria.
Sementara itu, Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang, Samsul Bahri Siregar, SH., MM., mengingatkan janji Dr. Hendrar Prihadi, S.E., M.M., semasa masih menjabat sebagai Wali Kota Semarang. Pasalnya, pada tahun 2018 Hendrar Prihadi menjanjikan untuk mengubah wajah Kota Semarang. Sehingga pemerintah daerah melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) berupaya menggali kebudayaan di Kota Semarang, sekaligus Menyusun Peraturan Daerah (Perda) terkait kebudayaan dan pariwisata.
“Kita sudah mulai pendataan kebudayaan dan melakukan pembinaan terhadap pemusik tingkat kampung agar bisa naik menjadi di tingkat Semarang. Sudah beberapa kali pembinaan kami laksanakan. Kami juga ada pembinaan di PKL kita angkat untuk tampil di kegiatan tingkat kota, dan kami biayai untuk pertunjukan mereka,” terang Samsul Bahri Siregar.
Kepala Dinas Arsip dan Perpustakaan Kota Semarang, Endang Sarwiningsih S.SE yang menyebut jika pihak mereka perlahan-lahan telah melakukan usaha yang sama sesuai bidangnya. Yakni mengarsipkan data kebudayaan di Kota Semarang, seperti menulis buku tentang Budaya Gebyuran di Bustaman, beberapa tahun lalu. Endang Sarwiningsih tak menampik jika kerja pengarsipan adalah hal krusial sebagai salah satu bentuk pelestarian budaya.
“Lalu kami melakukan penulisan buku untuk mengerti pelestarian budaya ini. Kerja pengarsipan penting namun belum dianggap penting, karena tidak ada pembelajaran tentang arsip. Di Dinas Arpus telah mencoba mengulik kata “daerah” dengan mengadakan lomba menulis terkait daerahnya. Arsip sendiri di sini berperan sebagai bahan penelitian, ilmu pengetahuan, juga pelestarian budaya. Kemudian jika sudah ada pengarsipan berupa penulisan setiap budaya, akan bisa dijadikan buku dan diwariskan kepada pewaris budaya,” papar Endang Sarwiningsih.
Meski begitu, Endang Sarwingsih menyebut jika pihak mereka tidak tahu menahu perihal target dari Wali Kota Semarang tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Yvonne Sibuea, bahwa Kota Semarang telah memiliki Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) tahun 2018, di mana salah satu datanya adalah manuskrip. Perencanaan itu ditargetkan akan menjadi dasar pusat kajian manuskrip Kota Semarang pada tahun 2024, nanti.
“Saya baru mengetahui mengenai target ini. Ketika kami diberikan amanah pada bidang arsip dan perpus ini, kami prihatin dengan kondisi manuskrip yang sedikit. Biaya untuk membeli manuskrip ini mahal dan kita tidak memiliki anggaran di APBD khusus untuk manuskrip. Maka kita berupaya untuk berkolaborasi dengan akademisi dan tokoh masyarakat,” jawab Endang.
Ia juga menyebut bahwa kurangnya minat masyarakat untuk memanfaatkan perpustakaan sebagai pusat informasi literasi. Endang menilai bahwa selain pembiayaan yang cukup mahal terkait manuskrip atau upaya yang sulit untuk pendataan budaya dan seni di Kota Semarang, keberadaan perpustakaan pun masih menjadi ruang yang terabaikan bagi masyarakat kekinian.
Di luar hal tersebut, muncul masalah baru yang diungkapkam oleh para hadirin yang berasal dari perwakilan beberapa kampung dan pelaku budaya serta seni di Kota Semarang. Seperti perwakilan dari Jatiwayang yang belakangan terkenal dengan penyelenggaraan Festival Jatiwayang-nya, perwakilan dari Nongkosawit yang memiliki tradisi “Ngarak Kyai Bendi”, hingga para pelaku perfilman di Kota Semarang. Selain pengarsipan, mereka membagikan pengalaman terkait kurangnya perhatian pemerintah daerah, terkait upaya pelestarian tradisi dan budaya, serta kerja kreatif di Ibu Kota Jawa Tengah.
Seperti yang dikatakan oleh perwakilan dari Jatiwayang, yakni selain pendanaan yang dirasa kurang untuk mengadakan kembali festival di kampung mereka, juga perihal susahnya mengurus administrasi kegiatan saat mendapatkan fasilitas dari pemerintah daerah. Begitu pula dengan cerita yang dibagikan oleh perwakilan dari Nongkosawit, di mana para pelaku budaya di kampung mereka memiliki permasalahan yang hampir sama. Bahkan kesusahan terhadap akses lokasi yang akan dijadikan tempat untuk berkegiatan.
“Artinya budaya itu ada karena diadakan. Kami punya usulan, pemerintah itu punya data mengenai dampak dari festival untuk masyarakat yang bersifat psikologis maupun ceremony. Sehingga ketika dana itu turun akan ada spesifikasi. Untuk seni yang saya lihat, ibarat gimana kita mau menulis tetapi gak ada kertasnya. Kita seniman tidak memiliki tempat, maka akan susah bagi mereka,” ujar perwakilan dari Nongkosawit.
Berkaitan dengan hal tersebut. Samuel Wattimena atau yang sering dipanggil Bung Sam, menyebut bahwa banyaknya kendala yang dialami oleh para pelaku seni dan budaya adalah penghambat kemajuan kebudayaan di Kota Semarang. Baik itu melalui pencatatan, fasilitas maupun dukungan pendanaan. Kerja-kerja mengolah daerah rural seperti yang dilakukan Kolektif Hysteria merupakan hal yang langka.
Bung Sam justru mempertanyakan posisi pemerintah terhadap upaya memberikan ruang dan fasilitas bagi masyarakatnya di bidang kebudayaan dan seni. Ia membayangkan bahwa kerja kebudayaan dan kesenian dibutuhkan agen khusus, sebab Kemendikbud dianggap rigid, sedangkan pelaku artisan butuh adanya pelatihan terkait birokrasi dalam mengurus kerja sama dengan pemerintah, saat mengadakan acara-acara kebudayaan dan kesenian.
Namun Samsul menyebut bahwa melalui pemerintahan tingkat desa, yakni Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) seharusnya sudah memenuhi syarat itu. Artinya, melalui Pokdarwis di masing-masing daerah, seperti di Kota Semarang, urusan birokrasi dalam hal budaya dan seni setempat sudah bisa mendapatkan edukasi yang cukup.
Ia juga menambahkan, meski Kota Semarang tidak berlabel Kota Budaya, namun Disbudpar menginginkan adanya upaya mengangkat budaya dan seni desa, seperti yang dilakukan oleh Kolektif Hysteria di beberapa lokasi selama ini. Sehingga mereka bisa membantu adanya pembuatan festival di masing-masing daerah; sesuai dengan tradisi, budaya dan kesenian setempat.
“Branding Semarang bukanlah kota budaya. Semarang lebih sering dikenal sebagai kota pesisir. Hysteria menjadi ujung tombak kampung untuk menggali potensinya. Kami di Disbudpar menginginkan untuk setiap tahun mengangkat potensi desa, mungkin untuk kelurahan yang mau diangkat bisa mengirimkan cerita tentang kesejarahan daerahnya agar bisa dibuatkan festival tahunan,” harap Samsul.*