Hysteria – Wes Anderson hadir dalam Safari Memori #1, Kolektif Hysteria. Melalui salah satu filmnya yang berjudul ‘Fantastic Mr. Fox’, Wes Anderson berhasil mengantarkan sensasi masa lalu General Manajer Kolektif Hysteria, Kesit Agung Wijanarko.
Safari Memori adalah salah satu program uji coba yang mencoba digagas oleh Purna Cipta Nugraha di Kolektif Hysteria, melalui berbagai medium. Seperti film, game, benda dan apapun yang menyimpan memori di masa lalu si bintang tamu. Seperti film-film karya Wes Anderson yang menyimpan kenangan untuk Kesit Wijanarko.
“Manusia hidup dengan kenangan” – Kesit Agung Wijanarko
Pada Safari Memori #1 yang disiarkan secara live pada hari Minggu, 7 Mei 2023 lalu, sebagai host Purna mencoba menggali kenangan-kenangan yang melekat di ingatan Kesit Wijanarko dari film Wes Anderson. Menurut Kesit, film gubahan sutradara asal Amerika Serikat itu mampu mengantarkan sensasi masa kecilnya bersama sang ayah.
“Sensasi menonton film Wes Anderson itu seperti didongengi sosok ayah,” kata Kesit.
Sebagai pecinta film, Kesit mengaku memiliki kebiasaan unik. Yakni mengecek atau mencari tahu sutradara dari film-film yang menurutnya meninggalkan kesan mendalam. Salah satunya adalah karya-karya dari Wes Anderson. Barulah nama penulis skenario hingga aktor-aktor yang terlibat dalam produksi tersebut.
Berbicara perihal ‘Fantastic Mr. Fox’ Kesit menemukan hal yang berbeda dari film fantasi satu ini. Sejak pertama kali menonton pada tahun 2013 silam, diakuinya sinematografi film tersebut berhasil membuatnya ternganga.
“Dia emang film adaptasi ya, dari sebuah buku. Tapi, aku belum baca bukunya ya, cara Wes Anderson menerjemahkan ke (film) fantasi, cerdas sih,” kata Kesit.
Menurut Kesit, kenyataan tersebut tak bisa terelakkan. Sebab, banyak karya-karya tangan dingin Wes Anderson yang membuahkan film dengan kualitas sinematografi jempolan. Pengambilan gambar yang simetris dan pemilihan tone warna yang kaya, adalah salah satu ciri khas dari racikan si sutradara.
Cerita ‘Fantastic Mr. Fox’ kemudian ia nilai ada konektivitas dengan Animal Farm karya George Orwell. Di mana Kesit dan Purna merasa dua karya tersebut mengandung unsur kritik terhadap kapitalisme. Atau bahkan dicurigai mengarah pada paham antroposentris.
“Itu kan konsepnya seorang musang yang capek dengan kehidupan normal yang berlawanan dengan naluri kemusangannya. Dan kembali bertekad untuk kembali kefitrahnya sebagai musang dengan jalan mencuri dan memakan ayam, yang merupakan kegemarannya,” ujar Kesit sembari tertawa kecil.
Hal itu membuat Kesit sempat resah, ketika seorang temannya menilai ‘Fantastic Mr. Fox’ cocok untuk ditonton bersama si anak. Sebab ia melihat ada nilai-nilai menormalisasi kejahatan dari sifat si musang alias Mr. Fox dalam film tersebut. Meskipun, akhirnya pun kembali pada kritik kapitalisme.
“Hal-hal dari tiga film Wes Anderson itu selalu menempel sih,” kata Kesit lagi.
Kembali pada permasalahan teknis, Kesit yang menilai bahwa sinematografi film-film Wes Anderson cenderung comical. Ternyata kakek buyut si sutradara adalah Edgar Rice Burroughs, seorang penulis yang populer dengan mahakarya Tarzan dan John Carter.
Purna melihat bahwa Wes Anderson adalah sosok sutradara yang mampu memodernisasi teknik-teknik tradisional ke dalam film yang ia buat.
“Yang menarik, Wes Anderson ini di tengah gagap gempita CGI dan yang kemudian menjadi ciri khas sutradara hari ini, dia justru memakai pola-pola sinematrografi tradisional. Lurus, samping, depan, kanan-kiri. Dia nggak pernah menggunakan shot yang aneh-aneh,” kata Purna.
Teknis-teknis pengambilan gambar itu dikatakan Purna sama dengan teknis yang digunakan dalam film The Golden Hour, milik Charlie Chaplin.
“Menjauhi kamera, itu biasanya film-film horor. Nah Wes Anderson itu menggunakan itu. Kalau perspektif itu kemudian digunakan, maka pertanyaannya sama. Action apa yang akan laku dengan teknis semacam itu (hari ini)?,” kata dia.
Lebih jauh, keduanya menilai mayoritas film-film Wes Anderson cukup relate dengan kehidupan sehari-hari. Walaupun dalam bentuk atau cara yang berbeda, seperti pengambilan tokoh-tokoh binatang di film ‘Fantastic Mr. Fox’.
Begitupun dengan film Wes Anderson lainnya, yaitu The Darjeeling Limited, Moonrise Kingdom hingga The Grand Budapest Hotel. Di mana hampir keseluruhannya diambil dari permasalahan sehari-hari yang simpel dan dekat dengan kehidupan manusia pada umumnya, atau pun problematika keluarga.*