Pemberdayaan adalah kerja intensif, partisipatif, dan berkelanjutan. Mungkin berat untuk membayangkan kerja dengan 3 pola tersebut dapat dilakukan dengan sepenuhnya dan maksimal di tengah masyarakat. Namun, perlahan banyak perseorangan, kelompok, lembaga, stakeholder yang secara intensif melaksanakannya di Indonesia. Di lingkungan masyarakat pun telah banyak kelembagaan yang memfasilitasi berbagai pemberdayaan seperti LPMK, PKK, BKM, namun seringkali prosesnya tidak berlanjut, tersendat proses birokrasi, berhenti di RAB kegiatan, atau hilangnya para anggota pemberdayaan. Kegiatan warga seperti Festival 5 Gunung di Magelang, Ngingok Githok di Rembang, Tengok Bustaman di Semarang, hingga Pasar Yosomulyo Pelangi di Metro menjadi contoh kecil bagaimana kerja-kerja pemberdayaan yang datang dari masyarakat dapat mendorong tidak hanya produksi pengetahuan dan kerja multidisiplin, tapi juga mencipta isu, gerakan, gagasan dan perubahan dalam ranah masyarakat. Kesenian, tidak kalah pentingnya, menjadi katalisator, output, bentuk ekspresi yang paling dekat dengan masyarakat. Kesenian disamping sebagai bentuk disiplin tersendiri, sering kali terikat erat dengan proses pemberdayaan untuk mendekatkan masyarakat dengan isu pemberdayaan yang juga datang dari masyarakat. Kesenian tidak semata mencipta karya demi disiplinnya saja dan memaknai kesenian hanya untuk kesenian itu sendiri, tapi memegang peran krusial dalam mendorong kerja-kerja pemberdayaan sehingga tetap kontekstual dan relevan dengan konteks hari ini.
Sejak ditetapkannya Metro sebagai kota Madya pada tahun 1999, gerak pacu ekonomi dan populasi kota “mungil” ini tumbuh cukup cepat. Tercatat pendapatan daerah sejumlah 336 Milyar rupiah pada tahun 2002 meningkat menjadi 911 Milyar pada 2021. Banyaknya pendatang baru juga dapat terlihat dari tumbuhnya jumlah populasi dari 145,346 di tahun 2010 dan menjadi 171.802 di tahun 2021. Kota dengan luasan wilayah 68,74 km2 atau sekitar 1/3 ukuran Washington DC di Amerika ini telah lama menjadi pusat kegiatan ekonomi, wisata, hingga hiburan untuk masyarakat dari daerah sekitarnya. Sebagai kota yang menjadi rujukan daerah sekitar, sudah menjadi keharusan Metro memiliki kapasitas lebih dalam membangun lingkungan sosial yang lebih baik dan menginisiasi berbagai kerja-kerja kolaborasi dan pemberdayaan sehingga masyarakat memiliki ruang dalam menggali potensi, membangun kapasitas dan rasa memiliki terhadap lingkungan dan sejarahnya. konsep-konsep ini dapat menjadi dasar dalam pola pemberdayaan yang nantinya dapat tumbuh dan mencipta peluang-peluang baru yang dapat mendorong kesejahteraan masyarakat.
Dalam Buah Tangan kali ini, kita akan membawa 2 tema besar yaitu Kesenian dan Pemberdayaan yang sedang banyak digiatkan di Kota Madya Metro, sebuah kota yang baru saja dicanangkan sebagai kota literasi pada 2020 lalu. Akan hadir 2 pembicara yang mewakili 2 organisasi yang berbeda yaitu Dharma Setyawan dari Payungi, dan M. Khadavi dari Selasart. Melalui kerja-kerja pemberdayaan, organisasi Payungi berhasil membangun ekosistem ekonomi kreatif di tengah-tengah masyarakat di Yosomulyo, dan proses itu pun banyak melibatkan kerja-kerja kesenian salah satunya Selasart yang juga aktif di ranah kota, berjejaring dengan masyarakat dan komunitas dalam menggalakkan kegiatan kesenian berbasis pengetahuan dan inisiatif-inisiatif warga di Kampung Baru, Metro.