Stonen Mini Fest 2009, Masih adakah alternatif?
Hysteria – Di tengah maraknya acara televisi, pementasan musik, perhelatan seni rupa dan lain sebagainya yang cenderung dikuasai penyeragaman dalam tema bahkan bentuk selalu saja ada orang atau kelompok yang mempunyai selera berbeda. Individu, kelompok, atau komunitas ini meskipun kecil tentu saja masih mempunyai penggemar dan pengikut setia. Seperti sebuah sekte, mereka terus hidup untuk memberi tawaran nilai yang barangkali tidak populis. Suatu ketika mereka menjadi arus utama, tetapi suatu ketika musnah sama sekali, memperbarui diri dan muncul dalam bentuk beda lagi.
Mereka inilah kelompok atau gerakan yang kadang diidentifikasi sebagai alternatif. Kemunculuan mereka kadang dibarengi dengan mediasi yang mereka buat sendiri. Bisa melalui zine, buletin, jurnal atau bahkan selebaran yang difotokopi hanya beberapa lembar dan disebarkan secara tidak jelas. Tapi yang pasti mereka adalah golongan orang-orang yang berusaha menciptakan sistem mereka sendiri.
Lalu apakah sistem mereka akan menjadi tren? Adalah waktu yang akan menentukan.
Melihat fenomena ini Komunitas Hysteria kemudian tertarik untuk mengadakan acara yang sedianya menawarkan pertanyaan kritis seputar apakah itu alternatif? Masih adakah yang bernama alternatif? Apakah alternatif itu sama dengan indie? Apakah kontemporer juga bisa dikatakan alternatif atau bagaimana?
Dari rentetan pertanyaan itu akhirnya menjadi tema dalam festival rutin lintas disiplin yang digagas komunitas Hysteria tahun ketiga ini. ‘Jalur Alternatif’ menjadi tema bagi selebrasi yang bernama Stonen Mini Fest 2009 ini. Festival yang ide dasarnya berasal dari semangat indie pegiat zine ini akhirnya bertempat di Grobak A(r)t Kos Jl. Stonen no 29 Sampangan, Semarang. Semangat para editor zine yang berani mewacanakan gagasan mereka melalui media yang dicetak dan disebarkan sendiri sedianya menjadi semangat yang menular pada disiplin seni atau ilmu lain.
Acaranya sendiri berlangsung selama 10 hari, yakni sejak 4 hingga 14 Agustus 2009. Base camp komunitas Hysteria untuk jangka waktu itu disulap menjadi ajang pameran, performance art, diskusi, instalasi, musik dan mural. Seluruh ruangan yang berupa kamar, ruang tamu, parkir, serambi, dapur, garasi hingga kamar mandi menjadi ajang perhelatan tersebut. Ide yang semula hanya pameran zine meluas ke lintas disiplin begitu gagasan ini dilontarkan pada jejaring komunitas Hysteria. Terlihat dari antusiasme mereka dalam merespons gagasan alternatif.
Hari pertama festival dibuka dengan performance art Roda Gila dkkb yang mengambil setting dapur dan ruang tamu untuk penampilan mereka yang berjudul Homo Pasien ronde 2. Dengan durasi waktu 30 menit mereka tampil atraktif bahkan semua personilnya telanjang bulat. Kontan saja para penikmat bersorak sorai. Hari kedua temu komuntias sastra se Semarang menjadi agenda. Persoalan regenerasi dan infrastruktur menempati urutan pertama untuk dibahas. Jeda satu hari digunakan untuk menyelesaikan display karya serta zine dari berbagai kota bahkan negara untuk dipamerkan tanggal 8 Agustus. Ada sekitar 500 an lebih zine dalam bentuk hard copy dan 200 an dalam bentuk soft copy yang dipamerkan. Pameran dibuka dan diisi dengan diskusi mengenai fenomena zine terutama di Semarang setelah satu hari sebelumnya I Wayan Sadra mengisi diskusi tentang musik kontemporer di Indonesia. Musik dan performance lain diadakan tanggal 9 Agustus dengan memakai garasi serta halaman belakang. Para penampil hari itu antara lain Lipstik Lipsing, Happyholic, Kunci Lawang, Child Art, Cacing Terbang, Post Mortem Monologue, dan Retorika. Ada juga pemutaran film hari remaja sedunia hasil kerajsama dengan Yayasan Kampung Halaman yang selain bertempat di Stonen 29 juga di SMA 1 Semarang pada tangggal 12. Tidak lupa penutupan acara dilakukan dengan mengadakan closing discussion sembari menghadirkan dua narasumber yakni Tan Markaban dan Bayu Tambeng untuk wilayah seni rupa.
Tentu saja acara ini tidak akan sukses tanpa bantuan berbagai komunitas, terutama Peniti Pink di Jakarta yang memberikan pasokan zine. Selain gegap gempita festival ini yang juga harus dicatat adalah peresmian lembaga dokumentasi zine yang dinamakan Grobak Pustaka. Hysteria memandang pentingnya usaha pendokumentasian ini karena tidak mustahil dinamika gerakan anak muda akan terlacak melalui riset dari medium ekspresi mereka. Dan zine termasuk salah satu elemen penting karena terkadang ada ekspresi-ekspresi yang tidak tertangkap oleh media-media pada umumnya.
Minim dialog
Gagasan tentang alternatif sendiri meskipun belum dielaborasi maksimal tetap saja menjadi bahasan menarik dalam sesi diskusi. Apakah alternatif itu tergantung media, modus, bentuk atau bahkan gagasan menjadi wilayah menarik untuk diperdebatkan. Atau jangan-jangan sudah tidak ada alternatif karena kapitalisme (baca: pasar) telah menyediakan saluran-saluran untuk menampung ke semua ekspresi tersebut.
Sayangnya semangat pegiat zine yang diharapkan menulari pegiat lain kurang terasa. Kebanyakan penonton masih berkutat dengan disiplin seni yang digelutinya masing-masing tanpa menggali lebih dalam dunia seni lainnya. Misalnya ketika performance art audiens yang hadir kebanyakan juga para penikmat performance. Begitu juga disiplin seni lain sehingga ruh yang diangkat dari pembauran lintas disiplin ini masih menyentuh wilayah permukaan. Padahal kalau mau saling membuka diri bukan tidak mungkin akan tercipta ide-ide segar dari pertemuan ini.
Selama tiga tahun terakhir memang belum tampak grafik yang mencengangkan dari festival lintas disiplin yang digagas Hysteria ini. Namun bukan tidak mungkin jika konsistensi ini terus dipertahankan kelak katup-katup ini akan terbuka sehinggga para pegiat seni di Semarang yang cenderung acuh tak acuh menjadi lebih peduli dengan yang lain. Karena barangkali lingkaran jaringan kesenian yang kecil ini hanya bisa bertahan dengan cara saling menguatkan satu sama lain dan bukan saling menjatuhkan. Begitu kira-kira capaian yang kelak dituju dari festival rutin lintas disiplin ini.
Foto Album: Facebook