Esai

(Re) Produksi Ruang Khalayak : (Bok Cinta) Kampung Bustaman

 

Oleh: Frans Ari Prasetyo

 

Kampung kota sebagai rekening perkotaan bekerja dalam struktur hierarkis kota dengan kompleksitas social-spatial dan politik perkotaannya. Operasi formal-informal perkotaan menunjukan kontruksi social-spatial yang nyata sebagai relasi produksi dan konsumsi khalayak di ruang public. Pesatnya pertumbuhan industry dengan konsentrasi yang kuat telah mengambil bentuk yang berbeda dari struktur konsumsi khalayak khususnya konsumsi ruang (public). Meminjam Lefebvre (1991)[2] yang menganggap ruang tidak pasif diberikan, namun secara aktif diproduksi oleh manusia. Historisitas (ruang) didorong ke depan oleh kekuatan produksi yang memadai secara industry maupun proletar sebagai bagian dari revolusioner rasional sebuah ruang.

Ruang perkotaan diproduksi dengan budaya yang ditandai dengan lanskap perkotaan sebagai klaim budaya (arsitektur) dan politik ke ruangan kota. Ruang kota dibentuk oleh jaringan kota global termasuk di dalamnya di era  colonial hingga era globalisasi modern sekarang ini berdasarkan potensi sosio-kultural dan spatial termasuk identitas dan politik public di dalamnya. Lefebvre (1991)mengklaim bahwa organisasi social tertentu terjadi melalui produksi (social) ruang yang khas.Ruang sebagai kontruksi yang diproduksi harus dianggap sebagai suatu proses yang penuh dengan ketegangan yang tidak lengkap, hasrat dan selalu tunduk kepada dampak dari tindakan social-politik manusia. Ini adalah ruang transmigrasi bentuk-bentuk budaya melalui praktek seni untuk melakukan re-development kultur dan identitas local sehingga melampaui budaya dan identitas sebelumnya.

Skema transmigrasi ini tentu saja berlangsung dengan melibatkan kontestasi dana kulturasi keterlibatan beragam factor sehingga dimensi organisasi social terjadi sebagai bentuk kerja produksi ruang.

Praktek spatial telah dimodifikasi untuk memenuhi dan memperluas kebutuhan manusia dan beragam kemungkinannya, salah satunya kemungkinan “pengalihan” ruang sebagai praktek situasionis. Praktik kerja ini terkait unsure estetika untuk produksi artistic dan propaganda. Maka “pengalihan” dipahami sebagai sebuah tindakan praktek situasionist menggunakan arsitektur dalam kesatuan urbanisme yang melibatkan ruang-ruang khalayak lebih besar dengan menggunakan prakek seni dan praktik revolusioner spatial. Urbanisme sebagai modus ‘perampasan’ lingkungan alam dan manusia melalui kapitalisme untuk sebagai pembangunan yang logis yang mendominasi dan sekarang harus refashion totalitas ruang dalam dekorasi khas-nya sendiri (Debord, 1995)[3]. Dekorasi ini yang kemudian coba disegarkan kembali melalui pengalaman lingkungan perkotaan yang baru melalui intervensi siasat artistic yang walaupun memiliki duplikasi historis dan pola keruangan sama tapi menghasilkan gaung-gema, redudansi berbeda dari duplikasinya.

Pengalaman lingkungan perkotaan saat ini menjadi praktik komunikasi tertentu melalui tingkat keberagaman konektivitas yang terbangun. Gagasan ruang public sebagai konsep yang sangat lokal dan memiliki nilai historis telah dibawa telah dibawa ke dalam hubungan kecanggihan jaringan kontemporer virtual, kabel, mobile yang memiliki  sinkronisasi atau disinkronkan untuk menanggapi kecepatan mobilitas atau cepat lambatnya infrastruktur perkotaan. Akibatnya penggunaan ruang public memiliki daya rampas pengalaman lingkungan dan pengalaman personal yang terpotong-potong menjadi pengalaman dalam skema kerja memori kolektif khalayak. Pengalaman dan referensi dari memori kolektif khalaya kini menjadi ruang apropriasi intrinsik yang terhubung dengan ruang-ruang lain, orang lain dan atmosfer lain-nya termasuk hubungan kausalitas sosio-spatial di antara dan di dalamnya.

Project Bok Cinta merupakan praktik spatial yang diupayakan dilaksanakan sebagai sebuah kemungkinan ‘pengalihan’ ruang sebagai praktek yang situasionis. Bok Cinta Project[4]yang digagas oleh komunitas Hysteria merupakan sebuah proyek seni yang diadakan di Kampung Bustaman, Purwodinatan, Semarang Utara. Menggunakan pengalaman lingkungan perkotaan, Bok Cinta beroperasi menggunakan praktik seni dan praktik revolusioner spatial dalam memproduksi ruang khalayak untuk mendapatkan pengalaman dan referensi kolektif khalayak dalam melakukan re-produksi, re-development, re-appropriasi sebagai bagian dari kausalitas sosio-spatial antara manusia dan ruang-nya.Cara kerja ini tentu saja memberikan tatanan identitas baru tanpa menghilangkan identitas manusia dan ruang tersebu yang sebelumnya telah memiliki nilai historisitas tertentu.

‘Bok Cinta’ diciptakan sebagai ideom dari para remaja Bustaman yang tergabung dalam Ikatan Remaja Bustaman (IRB) untuk menamai sebuah tempat nongkrong di salah satu sudut gang sempit. Secara fisik, ‘Bok Cinta’ berupa bangunan terbuat dari bata dan semen di teras salah satu warga dengan lebar 60 centi meter dan panjang 3 meter. Bangunan demikian dalam istilah Jawa disebut ‘Bok’ yang fungsinya sebagai tempat duduk-duduk atau tongkrong. Di sinilah para remaja sering berkumpul untuk sekedar menggosip, bertemu teman, atau melakukan aktivitas lain. Kebiasaan berkumpul ini menciptakan rasa saling memiliki, solidaritas, dan sesekali menghasilkan ide kreatif. Atribut ‘Cinta’ sesudah ‘Bok’ lebih berdimensi psikis dan menimbulkan citra positif dari kegiatan itu. Ketiadaan ruang publik yang memadai di tempat itu membuat situs ‘Bok Cinta’ menjadipenggantiruangpubliklayak yang semestinyadimilikiwarga. Dalam project ini, ‘Bok Cinta’ dimaknai lebih jauh sebagai kehausan masyarakat dalam mengakses ruang publik. Proyek ini menantang para seniman untuk memaknai ulang ruang publik sebagai tempat berkumpul, membangun solidaritas, dan menyatakan gagasan.

Analisis yang dihasilkan sebagai analisis eksperimental untuk meremberikan kemungkinan alternative yang melibatkan ruang apropriasi melalui konfigurasi koneksi ruang yang beroperasi di wilayah perkotaan kontemporer dan atmosfer historisitasnya sebagai sebuah wilayah maupun struktur masyarakatnya. Pesan utamanya sebagai wilayah sosio-spatial yang heterogen dari beberapa kombinasi kunci untuk melibatkan penggunaan ruang biasa atau ruang keseharian secara berulang-ulang dengan penetrasi yang berbeda. Proses ini sebagai upaya menyebarkan konsep dalam mengumpulkan fragmen aktivitas dan menyatukannya dalam keterlibatan ruang yang lebih besar walaupun bersifat temporal bila dibandingkan dengan rutinitas khalayak dalam kesehariannya di wilayah tersebut. Ruang kemudian bekerja dalam wujud apropriasi dari penerapan kolektif dari lingkungan tertentu, di mana proyeksi gambar personal dirangkai melalui kerja seni untuk tercapainya keinginan kolektif dan perwujudan ruang khalayak bersama yang egaliter dan otonom. Meminjam Debord (1995), memfokuskan produksi ruang secara eksklusif pasca aspek visual ruang abstrak, karena aspek ini yang paling dekat dengan daya tarik yang spektakuler dari komoditas (penampilan social). Bok Cinta sebagai aspek visual ruang abstrak mampu bekerja nyata sebagai daya tarik tertentu sehingga penampilan social dari ruang di mana Bok Cinta ini berada (Kampung Bustaman) memiliki gaung-gema dan resonansi yang berbeda terhadap khalayak yang menyaksikan, mengapresiasi bahkan yang hidup dalam rutinitas keseharian ruang tersebut.

 

Salam, (bok) cinta

 

[1]Tulisanpengantardalamdiskusidan screening : “Ikhtiardanaktivasiruangkhalayak” di WarungImajinasi Jl. Dr Curie No. 1 Bandung (25 Juni 2015)

[2] Lihat Lefebvre (1991). The Production of Space. Translated by Donald NIcholshon-Smith : Oxford ; Blackwell

[3]Lihat Guy Debord (1995). The Society of the Spectacle, Zone Books

[4]Lihathttp://bokcintaproject.tumblr.com/info (Diakses 20 juni 2015)

You Might Also Like

Tinggalkan Balasan