Esai

Memunculkan Harapan Lewat Seni

(catatan proses artis)

Oleh Annisa Rizkiana Rahmasari

 

grobakhysteria.or.id – Butuh waktu 2 minggu bagi saya untuk merenung setelah menyelesaikan proyek seni di salah satu kampung di Semarang. Nama kampung tersebut adalah Bustaman. Nama ini diambil dari nama Kyai Kertoboso Bustam atau kakek buyut Raden Saleh.

Bersama beberapa seniman lain, kami diberikan kewajiban untuk mengolah ruang publik menjadi ruang berpameran yang secara tidak langsung turut melibatkan warga di dalamnya. Sebelum mengeksekusi karya, kami mempelajari materi tentang kampung dan menyusun konsep. Saya sendiri memutuskan untuk mengajak anak-anak di Bustaman menciptakan ruang bermain mereka. Sebab setelah dihitung, kurang lebih ada 50 anak dengan rentang umur 3 sampai 12 tahun dengan 30 anak yang aktif saat workshop berlangsung.

 

Kurator memberi waktu 1 bulan bagi tiap seniman untuk mengenal warga secara lebih dekat. Saya dan yang lainnya biasa memulai mengamati dengan berjalan mengelilingi kampung. Terdapat sebuah masjid sebagai pusat ibadah warga yang terletak di tengah kawasan tersebut, disusul dengan bangunan MCK (mandi, cuci, kakus) yang merupakan warisan Belanda. MCK ini sempat dibangun ulang dengan dibantu ahli desain arsitektur LSM Borda dan LSM Pagrukti Luhur, serta mendapat sokongan dana dari Pemprov Jateng, Pemkot Semarang, dan LSM Borda. Bangunan tersebut kini menjadi fasilitas kebersihan bagi 300an jiwa yang tinggal di Bustaman, Pekojan, dan Bustaman Gedong maupun Gedongmulyo. Kadang – kadang saat siang sampai sore hari, anak-anak bermain di dekat MCK setelah pulang sekolah.

 

Pertemuan saya dimulai dengan salah satu anak bernama Dinda. Umurnya 9 tahun. Ia ramai sekali saat bercerita. Dinda juga sering membantu saya dalam mengakomodir anak-anak yang datang, ia merupakan teman yang persuasif, dan menyenangkan. Segera setelah Dinda, saya bertemu dengan grup anak yang lain. Mereka hampir seusia, ada Fani, Nisa, Nafila, lalu Viola dan Nayla yang lebih kecil. Menyusul dengan anak laki-laki, seperti Adit, Bima, Rasya, Andi, dan Edo. Agenda pertama saya dengan mereka adalah workshop menggambar. Kami berkumpul di ruang serba guna yang terletak di atas MCK. Bangunan tersebut biasa dipakai anak-anak untuk mengaji, bermain Play Station kadang merokok dengan sembunyi-sembunyi atau tidur. Saya membawa peralatan wajib seperti krayon, pensil warna, sepidol, kertas, dan membagikannya pada mereka. Namun, ternyata hari pertama workshop tidak semudah yang saya bayangkan karena anak-anak menjadi sangat antusias sehingga beberapa dari mereka menjadi agresif dan berusaha mengontrol satu sama lain dengan teriakan, memegang sapu, atau mengancam. Di tengah proses menggambar 2 sampai 3 anak menangis karena berebut piranti menggambar beberapa lagi tidak mau bekerja sama dengan anak yang lebih kecil karena merasa mereka tidak terlalu asyik untuk diajak bermain namun sisanya menggambar dengan tekun. Meskipun sempat kewalahan namun kami menyelesaikan sore itu dengan baik. Anak-anak menggambar rumah bayangan mereka, dan satu per satu kertas yang saya bagi mulai penuh dengan garis-garis tak beraturan yang merangkai warna.

 

Yang menarik dalam proses menggambar ini adalah, terlihat jelas bahwa banyak dari anak-anak yang kebingungan saat membayangkan rumah seperti apa yang harus mereka gambar. Apa rumah seperti yang mereka lihat? Atau rumah seperti contoh di sekolah?

Dulu, kita biasa diajarkan konsep rumah dengan genting seperti itu, dua buah jendela, pintu ditengah, dan halaman berisi tetanaman di halaman. Saya jadi berpikir, bahwa contoh yang kemudian menjadi konsep gambar rumah ideal untuk anak ini jangan-jangan salah si guru. Betul juga kata teman saya, Bayu Tambeng bahwa kekreativitasan siswa di sini dipertanyakan ketika baju sekolah saja masih seragam. Ada komunikasi antar guru, siswa, dan pendidikan sesungguhnya yang seakan tidak bisa dijembatani secara menyatu. Bahkan 14 tahun setelah saya lulus dari TK, anak-anak kini yang saya lihat, masih menggambar rumah dan pemandangan yang sama. Padahal, seorang anak selalu memiliki sudut pandang yang indah dan misterius, tapi mengapa ketika kita dewasa justru sering membekukan semangat itu?

 

Proses workshop menggambar dan mewarnai berlangsung selama beberapa hari, kami intens bertemu tiap sore setelah mereka tidur siang dan mandi. Kadang dalam workshop itu, kami selingi dengan menyanyi dan mengerjakan PR apabila waktu telah menunjukkan jam 7 malam. Dan kami akan segera berpisah pada pukul 8. Bicara tentang menyanyi, lagu kesukaan kami adalah Laba-Laba Kecil. Liriknya seperti ini :

 

Laba-laba kecil, main di bak air

Hujan turun, laba-laba tergelincir

Syuuuuuu…

Matahari pagi, menyinari bumi

Laba-laba kecil, bisa main lagi

 

Tidak ada anak yang bisa menolak bagian “Syuuu..” dalam lagu itu, sebab kami bersama-sama akan menggoyangkan tangan seakan ada sesuatu yang tergelincir darisana. Kami akan terkekeh-kekeh lalu anak-anak akan meminta lagu lain untuk dinyanyikan. Lagu kedua yang kami bisa praktekkan sambil menggoyangkan tangan adalah lagu ini :

 

Dodoli dodoli pret, suara mobilku

Terbuat dari karet, warnanya biru

Dodoli dodoli pret, nyetir sendiri

Disetop pak polisi, harus berhenti

 

Saya ingat bagaimana gerombolan anak laki-laki berteriak-teriak saat menyanyikan lagu. Suara mereka nyaring di ruangan itu. Beberapa dari mereka ada yang menggendong adik sambil memandunya mendengarkan lagu. Selama beberapa hari, kami seakan mengkooptasi ruang atas MCK yang biasa digunakan sebagai Taman Baca Quran sebagai tempat kami bermain. Pertamanya hanya ada 8 sampai 10 anak, yang bertambah setiap pertemuan hingga berjumlah 20 sampai 30 setiap sore. Ketika saya membantu mereka mengerjakan PR, ada satu anak bernama Triana yang masih duduk di bangku TK. Tugasnya hari itu adalah menyalin bentuk lengkung serupa payung di buku kotak besar. Triana begitu lucu membimbing jemarinya sendiri agar pensilnya tak keluar garis, dan agar bentuk lengkungnya tak terbalik. Saya mengamatinya sampai selesai, dan memberinya nilai 100 dengan tos semangat.

 

Anak lain yang juga menarik perhatian saya bernama Adit. Dia duduk di TK B. Saat ditanya apa cita-citanya dia menjawab ingin jadi TIN. Oh, maksudnya TNI. Saya berpandang-pandangan dengan anak lain lalu kami semua menertawakan Adit karena ia lucu sekali. Meskipun begitu, saat saya bertemu Adit, ia sangat aktif bahkan berulang kali roll depan di lantai ruang serbaguna untuk mencari perhatian semua orang di sana. Kadang-kadang juga memukulkan batang sapu ke lantai, atau menyanyikan lagu dangdut dengan lirik yang ia ubah sendiri. Adit sangat suka makan mie goreng, kata ibunya. Saat saya bicara dengan anak ini soal kegemarannya makan mie instan, Adit hanya terkekeh-kekeh sambil berlari. Beberapa hari kemudian saat workshop, ia melunak. Tidak lagi suka memukul-mukulkan batang sapu ke lantai dan tidak berteriak ketika menjawab pertanyaan dari saya. Yang membuat saya haru lagi adalah karena Adit sangat semangat menggambar ia bahkan menangkap banyak hal dan tehnik yang kemudian dicontoh oleh teman-temannya. Ia sering meminta kertas yang besar, kertas itu akan ditumpahinya dengan cat poster lalu digosok dengan kuas sampai warnanya tak beraturan. Saat saya tanya ia menggambar apa, kata Adit, “Lagi gambar hantu.”

 

Saya mungkin tidak bisa menceritakan semua anak yang saya saksikan selama 2 minggu workshop sebab terlalu banyak perasaan yang akan saya tumpahkan dalam tulisan. Saya ingat bagaimana Fani dengan malu-malu bertanya pada saya, “Kak, laba-laba kecil” lalu saya lanjutkan dengan bernyanyi sambil bisik-bisik yang membuat Fani mengikuti saya bernyanyi sambil terpingkal. Saya mendapati ia berlatih menghafal lagu itu di sela kesibukannya membantu sang ibu berjualan es teh. Adapun seorang anak bernama Nisa yang pintar di sekolah. Ia adalah seorang inisiator. Nisa mengajak teman-temannya berlatih menari, mereka akan tampil saat penutupan pameran berlangsung. Dan penampilan mereka malam itu sangat menarik dengan bandana berenda dan rok modifikasi yang cantik untuk anak-anak perempuan umur 12 tahun.

 

Apa yang saya lihat dari anak-anak adalah mereka bertendensi untuk mencontoh apa yang mereka lihat dari orang tua mereka. Saya tidak bisa menghakimi siapapun ketika ada beberapa anak yang bicara atau berlaku tak sopan. Sebab ketika ada terlalu banyak penduduk dalam sebuah pemukiman, hal tersebut akan berbanding lurus dengan ketegangan yang muncul. Sedangkan hal yang dapat mengobati ketegangan itu adalah rekreasi. Kadang-kadang saya melihat diri saya juga dalam diri anak-anak, kami bertemu satu sama lain lewat proses ini, mereka mengajak saya bermain dan saya mengajak mereka mengingat diri mereka. Kenyataan telah membuat anak-anak terlalu awal untuk tahu terlalu banyak, absennya perhatian dari orang tua diisi oleh televisi, tarian masa kecil menjadi membosankan sebab goyang dumang lebih disukai orang dewasa, dan ketika anak-anak menyukainya juga mereka memperoleh tempat dan merasa diterima sebab orang dewasa menganggap itu lucu. Seorang anak yang duduk di kelas 6 SD lain bernama Farhan. Saya melihat dia pertama kali di ruang serbaguna setelah semua anak pulang. Ia dan temannya mengeluarkan sebungkus rokok dari saku, lalu menghisapnya sambil celingak-celinguk, khawatir ada yang melihat selain saya. Saya pernah bertanya mengapa ia merokok, Farhan hanya tertawa kecil lalu berkata bahwa itu bukan hal yang berdosa. Tapi tentu, saya tidak bisa mengatakan hal itu tidak pantas bagi usia mereka, karena kami melihat kenyataan yang sama sekali berbeda.

Setelah pameran hampir selesai, saya banyak mendengar cerita dari Farhan, kadang ia menemani saya dan teman lain mengerjakan karya sampai tertidur di lantai. Ketika ia tidur, saya sering memikirkannya sebab ia tidur terlalu larut, kadang tidak tidur dan kami tak bisa memaksanya tidur padahal neneknya akan datang membangunkan ia pada pagi hari untuk berangkat sekolah. Saya harap ketika saya menulis ini ia sudah tak sering tidur larut lagi.

 

Selang satu minggu kemudian, saya dan anak-anak berlatih membuat topeng. Setiap anak boleh memilih superhero mereka, saya akan menggambar , dan mereka mewarnainya. Ada seorang anak yang minta digambarkan Mr. Bean, anak-anak perempuan kompak meminta topeng peri bawah laut seperti contoh yang saya buat, ada pula nama robot yang tidak akrab di telinga saya seperti Adudu. Gambar topeng itu jadi 33 buah, ada 4 teman lain yang membantu saya memotongnya. Kami sibuk sekali hari itu, saya membawa sekantung kertas sisa yang sudah menjadi bagian kecil tinggal tempel, dan anak-anak beramai-ramai membuat topeng kolase, mereka menempel disana sini, mengecat tanpa henti, semua anak tertawa, dan semua anak menunggu giliran menangis karena berebut piring lem atau kuas. Esoknya, topeng dari kertas karton itu kami tempel dengan tangkai balon dibelakangnya. Jadilah topeng mainan itu. Anak-anak membawanya ke sana ke mari, menuliskan nama mereka di belakangnya, menghias kertas itu sebagus mungkin. Saat pengambilan video berlangsung, ke-30 dari mereka dikumpulkan di ratan (jalan depan rumah). Kami bernyanyi Laba-Laba Kecil dengan lantang di depan semua orang tua sambil menggoyang-goyangkan topeng kami, semua anak yang sudah besar dan masih kecil ada di situ, saya ada di tengah dikelilingi mereka sambil menahan tangis karena terharu sambil berpelukan. Dua minggu lalu, seorang anak di grup ini menendang mulut temannya, dan sekarang mereka dengan ceria menyanyikan lagu ini. Hanya satu lagu yang terus kami ingat dari awal, tentang laba-laba kecil yang terpeleset di bak air. Dan di saat itu, saya merasa sepertinya tidak ada waktu lagi untuk goyang dumang.

 

Karya saya terdiri dari gambar yang dibuat oleh anak-anak dan mainan yang saya kumpulkan lewat penjaja mainan di kampung Bustaman. Ia biasa naik sepeda membawa gerendelan plastik berisi mainan seharga Rp 500,00 – Rp 2000, 00 rupiah. Banyak dari mainan itu yang saya pernah lihat maupun tidak pernah lihat ketika saya kecil namun menjadi benda kesukaan anak-anak. Dunia yang mereka lihat seperti terwakili setengahnya oleh bentuk yang beraneka ragam mainan plastik ini. Saat mengatur tata letak benda-benda tersebut di meja yang akan dilapisi kain licin berwarna biru transparan berukuran 4 meter, beberapa anak menyerbu masuk meskipun dengan diam-diam untuk bermain kain itu, membuatnya seolah menjadi gaun pengantin mereka, perosotan, atau sekedar landasan berguling-guling. Pernah suatu kali karena terlalu dekat dengan seorang anak perempuan, saya diusir pulang oleh anak-anak yang lain, mereka beralasan saya telah pilih kasih. Dan saat pulang saya merasa sedih meskipun tidak bermaksud seperti itu.

 

Saya pikir tidak mudah untuk menjaga hubungan ini. Saya jadi membayangkan apabila saya seorang guru. Selama 1 bulan, fluktuasi emosi saya yang harusnya naik turun seperti merata. Anak-anak justru akan menjadi semangat ketika orang dewasa melarang mereka mengerjakan satu hal. Saya juga jadi membayangkan apabila saya ada di posisi orang tua, kakak, dan sesama teman. Bagaimana membuat mereka mengklaim kembali ruang dan cita – cita mereka sebagai anak dengan cara yang tidak dapat mereka tebak. Tapi tentu, proses ini masih jauh sekali dari sebuah perubahan. Namun paling tidak, ada ide baru yang tertanam dalam ingatan orang-orang tua dan anak bahwa kedua dari mereka dapat mewujudkan keharmonisan yang sama, bahwa mereka dapat berharap lewat seni.

 

Pameran telah selesai, saya mendapat ucapan sedih dari beberapa orang tua karena hubungan dengan anak-anak ini rasanya terlalu cepat namun sangat dalam, saya tidak pernah memiliki hubungan seistimewa ini, lalu ketika proyek seni selesai rasanya seperti berpisah. Saya pulang ke rumah, dan anak-anak kembali pada sekolah atau pekerjaan mereka. Sampai tulisan ini dibuat, saya masih terus berpikir bahwa berhadapan dengan publik dalam konteks kesenian, selain proses desain, ada hal yang tak kalah esensialnya yaitu bagaimana mempeluas pandangan manusia tentang seni. Ia tidak boleh lagi menjadi sesuatu yang abstrak ataupun sulit dipahami, namun ia sudah selayaknya bertransformasi menjadi kenyataan yang lebih lunak, memiliki hubungan dengan apa yang warga lihat atau cita-citakan. Dan warga terdiri dari tidak hanya orang dewasa, namun juga anak-anak. Yang dimana hanya lewat apresiasi terhadap seni dan hubungan antar manusia, semua konflik dapat mundur untuk menyederhanakan dirinya.

 

Terima kasih untuk semua hal baru yang saya pelajari ini, Kampung Bustaman.

 

 

You Might Also Like

Tinggalkan Balasan